Selasa, 15 Februari 2011

Agar Jomblo Tetep PD

Status jomblo yang emoh pacaran itu hebat. Tapi sebagian teman merasa tidak percaya diri dengan status itu. Nah, agar jomblo tetep PD laksanakan saja poin-poin berikut ini :
1. Niatkan Karena Allah SWT
Inilah yang menyebabkan kita jadi percaya diri dalam status jomblo, di tengah-tengah muda-mudi yang terjerumus dalam dunia pacaran. Yang lebih utama lagi dengan berbekal niatan seperti ini kita akan memperoleh pahala dari Allah SWT. Sebab kita meninggalkan perbuatan maksiat dalam rangka mendapatkan keridhoan-Nya. Ini berbeda kondisinya dengan orang yang etap dalam status jomblo hanya karena alas an-alasan karena Allah SWT. Rasulullah SAW pernah bersabda,”sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung dengan niat. Dan seseoaang akan mendapatkan balasan sesuai yang dia niatkan…”(Riwayat Al Bukhari dan Muslim).
2. Yakini bahwa aktivitas pacaran adalah maksiat.
Pacaran adalah perbuatan dosa yang mengundang kemurkaan Allah SWT. Karena dialamnya ada serangkaian aktivitas maksiat yang mengantarkan pelakunya pada perbuatan zina. Mulai dari melihat, memegang bersepi-sepi dan seterusnya. Semuanya di larang oleh rosulullah SAW. Yakni perbuatan pacaran adalah mungkar, sehingga kita tertuntut utuk mengubah kemungkaran tadi sekuat kemampuan kita. Baik dengan tangan dan ucapan kita. Minimalnya kita kita benci dengan hati terhadap perbuatan seperti itu.sehingga kita akan selalu PD dengan status jomblo. Kita pun bias dengan tenang mengatakan,”Alhamdulillah, Aku jomblo”
3. Tenang dengan takdir Allah SWT.
Namanya manusia memang selalu tertarik dengan lawan jenisnya. Keinginan untuk menyalurkan ketertarikan kepada lawan jenis adalah sesuatu yang manusiawi. Namun jangan sampai hal tersebut menjadikan kita menempuh jalan yang dilarang oleh Allah SWT. Yaknlah dengan takdir Allah SWT, bahwa masa-masa itu akan datang.
Rasulullah SAW pernah bersabda,
“sesungguhnya setiap diantara kamu dikumpulkan penciptanya dialam rahim ibunya selama empat puluh hari brrupa nutfah, kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga, kemudian menjadi segumpal daging selama itu juga, kemudian di utus malaikat kepadanya, lalu malaikat itu meniupkan ruh padanya dan di perintahkan dengan empat kalimat; menetapkan rezekinya, ajalnya, celakanya, dan kebahagiaannya…”(Riwayat Al bukhari dan Muslim).
Keimanan pada takdir tersebut, mestinya mendorong kita untuk menempuh dan berusaha dengan cara-cara yang dilegal;kan oleh Allah SWT, bukan malah mencari cara-cara yang tidak dibenarkan oleh syariat.
4. Banyak-banyak melakukan amalan shalih, termasuk puasa.
Gunakan setiap waktu yang diberikan oleh Allah SWT dengan memperbanyak amalan shalih yang sesuai. Misalnya di pagi hari kita memanfaatkan waktu yang ada untuk membaca dzikir pagi dan petang. Wakt selepas shalat kita manfaatkan untuk berdzikir yang di ajarkan Nabi SAW. Membuat jadwal khusus untuk membaca dan menghafal Al Qur’an. Bangun di malam hari untuk mengerjakan Qiyamul Lail. Membasahi lisaan dengan berdzikir kepada Allah SWT. Berpuasa pada hari-hari yang disunnahkan. Mengikuti kajian-kajian keislaman yang membahas tentang imu. Membayarkan zakat setelah sampai nishabnya dan telah berlalu satu haul. Membantu pekerjaan orang tua dalam ragka birrul walidain. Dan berbagai aktivitas ibadah lain yang bias kita lakukan sepanjang waktuyang diberikan oleh Allah SWT. Kesibukkan dalam kebaikan ini akan memupus keinginan hati terhadap hal-hal yang dimurkai ooleh Allah SWT. Termasuk diantaranya pacaran.
5. Gunakan waktu sehebat mungkin.
Jangan sampai waktu yang ada kta gunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat bagi dunia dan akhirat kita. Watu luang yang tidak dimanfaatkan dengan baik merpakan penyakit berbahaya bagi pemikiran, akal dan badan. Karena jiwa senantyasa bergerak dan beraktiviyas. Bila ia di biarkan sja maka pemikran akan menjadi bebal, akal menjadi kasar dan gerakan jwa akan melemah, rasa was-was dan pemikiran burkpun menguasai hati. Dalam kondisi yang demikian sangat mungkin kta akan terdorong untuk berbuat jahat. Makanya, manfaatkan waktu yang diberikan oleh allah SWT untuk berbagai aktivitas yang bermanfaat, seperti berdagang, beajar, menulis, berolahraga yang membuat badan sehat dan kuat untuk ibadah dan lain senagainya.
6. Jauhi tontonan, bacaan dan ha-hal yang m,endorong untuk berpacaran.
Hati manusia itu lemah. Bila dorongan utuk melakukan maksiat begitu besar maka seseorang akan mudah terpengaruh dalam perbuatan maksiat yang sama. Nah, dorongan itu bias berasal dari tontonan, bacaan, lingkunga pergaulan atau yang lain. Segala doronga tadi mesti di tepis jauh-jauh. Salah satunya dengan menghindari tontona , bacaan, lingkungan dan segaa yang membuat rusak tersebut. Di sisi lain, sepantasnya kita berusaha untuk mencari bacaan, tontonan dan lngkungan yang mendorong kita untuk semakin taat kepada Allah SWT.
Semoga bermanfaat...

Senin, 14 Februari 2011

Kebenaran Janji Allah SWT

QS. AL-A'raaf ayat 96-100

96. Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
97. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur?
98. Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain?
99. Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.
100. Dan apakah belum jelas bagi orang-orang yang mempusakai suatu negeri sesudah (lenyap) penduduknya, bahwa kalau kami menghendaki tentu kami azab mereka Karena dosa-dosanya; dan kami kunci mati hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi)?

Keumuman Makna

Setelah Allah SWT menjelaskan sunnah-Nya terhadap umat-umat terdahulu, yaitu ditimpakannya siksaan dan kesengsaraan terhadap mereka setelah meraka mendustakan dan membangkang ayat-ayat-Nya. Kemudian bila umat-umat tersebut belum juga bertaubat dan terus berjibaku dalam kekufuran dan pembangkangannya, Allah SWT akan melimpahkan berbagai kebaikan untuk mereka berupa harta yang banyak dan kondisi ekonomi yang lebih baik, lalu serta merta Dia membinasakan mereka sehimgga jadilah mereka setelah itu manusia-manusia yang merugi di dunia dan akhirat.
Allah SWT membuka pintu taubat dan pengharapan bagi para hamba-Nya seraya berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri” yakni mereka yang mendustakan (ayat-ayat Allah SWT) seperti orang-orang kafir Mekkah, Thaif dan penduduk kota lainnya. “Beriman” yakni kepada Allah SWT dan Rosul-Nya, (beriman) dengan hari pertemuan, janji, dan ancaman-Nya. “Dan Bertaqwa” yakni kepada Allah SWT sehingga tidak berbuat syirik, bermaksiat kepada-Nya dan Rosul-Nya; niscaya Allah SWT akn membukakan pintu-pintu langit berlimpahan rahmat dan berkah. Melimpahka bagi mereka perbendaharaan bumi dan menganugrahkan mereka rezeki yang baik akan tetapi penduduk negeri terdahulu telah mendustakan (ayat-ayat Allah SWT) sehingga Dia menimpakan Azab kepada mereka sebagai balasan atas apa yang mereka perbuat. Penduduk bumi sekarng ini yang mendustakan (ayat-ayat Allah SWT), hanya dua jalan bagi mereka; mengambil pelajaran dari apa yang menimpa penduduk negeri-negeri terdahulu lalu beriman, bertauhid dan berbuat ta’at. Atau tetap di aas kesyirikan dan pendustaan lal ditimpakan atas mereka azab yang dulu pernah ditimpakan kepada orang-orang sebelum mereka, yaitu dimusnahkan secara missal dan disikat habis. Inilah yang di tunjukkan dalam firman-Nya pada ayat 96 diatas, yaitu firman-Nya,”jikalau sekiranya penduduk negeri-negri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Sedangkan pada tiga ayat berikutnya (97,98,99), Allah Ta’ala mengingkari kelalaian penduduk negeri-negeri tersebut dengan mencela kengototan dan keterus-menerusan di atas kebatilan seraya terheran dengan kondisi mereka tersebut. Karena itu Dia berfirman, “maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatanag siksa kami kepada mereka di malam hari diwaktu mereka sedang tidur?” atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada merka di waktu matahari sepenggalahan nak ketika mereka bermain?” yakni apakah penduduk negeri-negeri lalai dan merasa amn saja terhadap datangnya azab kami di waktu Dhuha (matahari sepenggalahan naik) sementara mereka telah asyik mengerjakan amalan yang tidak bermanfaat bagi mereka yang seakan sedang bermain-maindengan permainan anak-anak? ”maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah” yakni mereka terlena karena kami mengulur-ngulur bagi mereka dan memperdayai mereka sehingga merasa amn dari maker Allah?seungguhnya mereka telah merugi sebab orang yang merasa aman-aman saja dari maker Allah hanyalah orang-orang yang merugi.
Sementara firmannya dalam ayat kelima (100), “dan apakah belum jelasbagi orang-orang yang mempusakai suatu negeri sesudah (lenyap) penduduknya, bahwa kalau kami menghendaki tentu kami azab mereka karena dosa-dosanya; dan kami kunci hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi)?” yakni telah butalah orang-orang yang mempusakai bumi setalah penduduknya lenyap dan belum jelas bagi mereka serta belum menyadari bahwa andaikata Kami menghendaki, tentu kami azab merekakarena dosa-dosa mereka sebagaimana Kami telah mengazab orang-orang yang telah mempusakai rumah-rumah mereka karena dosa-dosa mereka.”dan Kami kunci hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi)” dan Kami jadikan di setiap hati mereka sumbatan sehingga mereka tidak menyadari apa yang di katakan kepada mereka tidak memahami apa yang diinginkan terhadap mereka hingga akhirnya mereka binasa sebagaimana ninasanya orang-orang sebelum mereka.

Petunjuk Ayat

Di antara petunjuk ayat-ayat di atas adalah :
1. Allah yang Maha Pengasih menawarkan rahmat-Nya kepada para hamba-Nya dan tidak meminta yang lebih-lebh dari mereka selain dari iman dan taqwa.
2. Diharamkan bersifat lalai dan wajib ingat dan waspada.
3. Dharamkan bersikap aman darumakar Allah SWT.
4. Bla suatu umat merasa aman-aman saja dari makar Allah SWT, maka hendaklah mereka bersiap-siap menyambut penyesalan dan datangnya suatu azab yang pasti datang.
5. Wajib mengambil pelajaran dari apa yang dialami orang-orang terdahulu, yaiti dengan tidak melakukan factor-faktor yang menyebabkan kebinasaan mereka.
Aysar at-Tafaasiir : Syaikh Abu Bakar al-Jazaairy.

Ibrah/Perenungan

Apabila kita dermati kejadian negeri kita saja, misalnya, dalam beberapa tahun terakhir ini, seakan ayat-ayat tersebut brbicara kepada kita. Kejadian-kejadian seperti gempa, tanah longsor, banjir dan sebagainya tidak jauh dari waktu-waktu yang disebutkan tersebut. Di Sidoharjo misalnya, lumpur panasa yang terus menyembur tak kunjung reda hingga sekarang, demikian pula gempa dan tanah longsor di berbagai tempat dan sejumlah kejadian lain di persada negeri ini, semuanya terjadi pada saat yang disebutkan ayat-ayat diatas. Membukytikan bahwa semuanya itu hanyalah atas kehendak Allah SWT. Semata. Belum lagi jika kita melihat kejadian-kejadian yang menimpa penduduk luar negeri, seperti di Iran, Bangladesh, Srilanka, Amerika, Kuba dan sebagainya. Juga membuktikan bahwa musibah-musbah itu terjadi tidak lepas dari andil manusia, yaitu pebuatan maksiat kepada Allah SWT dan kerusakan di muka bumi.
Di sisi yang lain, kita menyaksikan kebenaran janji Allah SWT dalam ayat-ayat tersebut untuk menjadikan negeri-negeri yang beriman dan bertaqwa sebagai negeri yang makmur, negeri yang sejahtera, aman dan tentram. Di antara contohnya yang perlu kita renungkan kembali adalah betapa pada masa Rasulullah, para al-khulafa’ ar-Rasyidun dan generasi tabi’in kondisinya sangat aman, damai, dan sejahtera. Tidak terbetik berita dari nukilan ahli sejarah yang dapat dipercaya mengenai musibah-musibah besar seperti yang terjadi di abad kontemporer ini. Jelas sekali ini menunjukkan janji Allah SWT itu pasti benar dan terjadi.
Semoga dengan ini, akan lebih membuka mata hati kita untuk segera dan tidak menunda-nunda lagi bertaubat dan kembali kepada Allah SWT serta berhenti melakukan semua bentuk kemaksiatan.
Wallahu a’lam

Hati Sebening Kaca

       Hati ibarat kaca nan bening, setitik embunpun dapat membuatnya kusam, terlebih debu, kotoran maupun air yang bernoda hitam. Apa jadinya kalau kebeningannya terciprat noda? Tentu ia menjadi penghalang dalam kita berkaca dan tak lagi dapat menampakkan sosokdiri yang sempurna.
Begitupun dengan hati. Untuk pembersihan penyuciannya dibutuhkan suatu proses yang tentunya mesti bersumber dari wahyu ilahi, syariat yang dibawa Nabi SAW. Di antara factor-faktor yang dpat menjaga kesucian adalah :
a. Selalu menjaga niat.
Niat merupakan barometer segala ucapan dan perbuatan seorang muslim. Maka menjaganya dari segala kotoran dan maksiat menjadi kunci utama dalam pembersihannya.
b. Membaca dan mempelajari Al Qur’an.
Kita tahu bahwa Al Qur’an adalh tali Allah yang kuat. Tali ini memperkokoh hubungan hamba dengan Rabnya. Al Qur’anpun menjadi obat penyakit hati bagi hamba yang membaca dan mempelajari.
c. Banyak berdzikir.
Dengan dzikir yang tulus, segala belenggu syahwat akan terputus dan menjadikan ketenangan hati.
d. Mohon ampun dengan memperbanyak istighfar dan memperbanyak amal kebaikan.
Dengan memohon ampun dengan membaca istighfar seorang hamba bakal menuai ampunan minimal dalam 1 hari 100X istighfar. Dengan memperbanyak amal kebaikan bisa menutupi segala dosa-dosa dan noda-noda yang ada di hati.
e. Shalat malam.
Shalat malam merupakan kebiasaan orang-orang shalih dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mensucikan hati. Rasulullah SAW bersabda “ hendaknya kalian melakukan shalat malam. Sesungguhnya shalat malam adalah kebiasaan orang-orang shalih, pendekatan diri kepada Allah, pencegah dosa, penghapus kesalahan, dan pengusir penyakit dari tubuh.(Riwayat Ahmad).
f. Menghadiri majelis ilmu dan bergaul dengan orang-orang shalih.
Dengan menghadiri majelis ilmu dapat meminimalisir niat-niat jelek yang timbul. Disamping itu dengan menghadiri majelis ilmu kita juga bisa meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat untuuk diri kita.dengan bergaul dengan orang-orang shalih segala tingkah laku dan perbuatan kita akan senantiasa terjaga dan terkendali, karena orang-orang shalih akan selalu mengajak kita untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan apabila kita melakukan kesalahan maka akan selalu di ingatkannya.
g. Mengingat kematian.
Yaitu dengan sering-sering ziarah kekubur.dengan begitu maka akan menjadikan kita untuk selalu menyibukkan diri dengan berbuat baik dan meningkatkan amal ibadah untuk mempersiapkan bekal kita di akhirat kelak.
h. Bersikap zuhud terhadap dunia.
Bukan berarti kita melupakan dunia atau tak butuh lagi dunia tetapi hajat kita kepada akhirat mesti menjadi prioritas utamadaripada dunia yang fana ini.memberi prioritas kapada akhirat berarti salah satu upaya membebaskan diri dari belenngu dunia ini.jangan menjadikan dunia ini tujuan tetapi jadikanlah dunia ini sebagaisarana untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat.
i. Berdo’a
Berdo’a merupakan kunci pamungkas di antara kunci-kunci yang ada dalam upaya pemberdihan diri. Karena doa menjadi senjata muslim dalam menghadapi bujukan setan yang selalu menyeru kapada hal-hal yang maksiat dan penyimpangan. Dengan rujuk dan kembali kepada Allah SWT, InsyaAllah segala rayuan syahwat yang di suguhkan tak lagi mempan.

Sabtu, 15 Januari 2011

Tugas Kekhalifahan

Manusia diserahi tugas hidup yang merupakan amanat Allah dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Tugas hidup yang dipikul manusia di muka bumi adalah tugas kekhalifaan, yaitu tugas kepemimpinan , wakil Allah di muka bumi, serta pengelolaan dan pemeliharaan alam.
Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan dirinya serta mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya.
Sebagai khalifah, manusia diberi wewenang berupa kebebasan memilih dan menentukan, sehingga kebebasannya melahirkan kreatifitas yang dinamis. Kebebasan manusia sebagai khalifah bertumpu pada landasan tauhidullah, sehingga kebebasan yang dimilikitidak menjadikan manusia bertindak sewenang-wenang.
Kekuasaan manusia sebagai wakil Tuhan dibatasi oleh aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh yang diwakilinya, yaitu hokum-hukum Tuhan baik yang baik yang tertulis dalam kitab suci (al-Qur’an), maupun yang tersirat dalam kandungan alam semesta (al-kaun). Seorang wakil yang melanggar batas ketentuan yang diwakili adalah wakil yang mengingkari kedudukan dan peranannya, serta mengkhianati kepercayaan yang diwakilinya. Oleh karena itu, ia diminta pertanggungjawaban terhadap penggunaan kewenangannya di hadapan yang diwakilinya, sebagaimana firman Allah dalam QS 35 (Faathir : 39) yang artinya adalah :
“Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah dimuka bumi. Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafiranorang-orang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lainhanyalah akan menambah kerugian mereka belaka”.
Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah (QS 51:56, QS 2:21, QS 2:183, QS 63:8). Jika ia menunaikan tujuan penciptaannya maka ia akan menjadi insan yang bertakwa dan memperoleh kemuliaan sejati (al-‘izzah). Dengan kekhalifahan yang berwibawalah ia dapat menunaikan fungsinya dengan baik yaitu:
Pertama, tugas khalifah menerapkan seluruh hukum syariah Islam atas seluruh rakyat. Hal ini nampak dalam berbagai nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk mengatur muamalat dan urusan harta benda antara individu muslim (QS Al-Baqarah:188, QS An-Nisaa`:58), mengumpulkan dan membagikan zakat (QS At-Taubah:103), menegakkan hudud (QS Al-Baqarah:179), menjaga akhlaq (QS Al-Isra`:32), menjamin masyarakat dapat menegakkan syiar-syiar Islam dan menjalankan berbagai ibadat (QS Al-Hajj:32), dan seterusnya.
Kedua, tugas khalifah mengemban dakwah Islamiyah ke seluruh dunia dengan jihad fi sabilillah. Hal ini nampak dalam banyak nash yang menjelaskan tugas khalifah untuk mempersiapkan pasukan perang untuk berjihad (QS Al-Baqarah:216), menjaga tapal batas negara (QS Al-Anfaal:60), memantapkan hubungan dengan berbagai negara menurut asas yang dituntut oleh politik luar negeri, misalnya mengadakan berbagai perjanjian perdagangan, perjanjian gencatan senjata, perjanjian bertetangga baik, dan semisalnya (QS Al-Anfaal:61; QS Muhammad:35).

Tanggung Jawab Manusia

Tanggungjawab Abdullah terhadap dirinya adalah memelihara iman yang dimiliki dan bersifat fluktuatif ( naik-turun ), yang dalam istilah hadist Nabi SAW dikatakan yazidu wayanqusu (terkadang bertambah atau menguat dan terkadang berkurang atau melemah).
Tanggung jawab terhadap keluarga merupakan lanjutan dari tanggungjawab terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, dalam al-Qur’an dinyatakan dengan quu anfusakum waahliikum naaran (jagalah dirimu dan keluargamu, dengan iman dari neraka).
Allah dengan ajaranNya Al-Qur’an menurut sunah rosul, memerintahkan hambaNya atau Abdullah untuk berlaku adil dan ikhsan. Oleh karena itu, tanggung jawab hamba Allah adlah menegakkan keadilanl, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap keluarga. Dengan berpedoman dengan ajaran Allah, seorang hamba berupaya mencegah kekejian moral dan kenungkaran yang mengancam diri dan keluarganya. Oleh karena itu, Abdullah harus senantiasa melaksanakan solat dalam rangka menghindarkan diri dari kekejian dan kemungkaran (Fakhsyaa’iwalmunkar). Hamba-hamba Allah sebagai bagian dari ummah yang senantiasa berbuat kebajikan juga diperintah untuk mengajak yang lain berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran (Al-Imran : 2: 103). Demikianlah tanggung jawab hamba Allah yang senantiasa tunduk dan patuh terhadap ajaran Allah menurut Sunnah Rasul

Fungsi dan Peran Manusia

Di dalam Al Qur’an disebutkan fungsi dan peranan yang diberikan Allah kepada manusia.
• Menjadi abdi Allah. Secara sederhana hal ini berarti hanya bersedia mengabdi kepada Allah dan tidak mau mengabdi kepada selain Allah termasuk tidak mengabdi kepada nafsu dan syahwat. Yang dimaksud dengan abdi adalah makhluk yang mau melaksanakan apapun perintah Allah meski terdapat resiko besar di dalam perintah Allah. Abdi juga tidak akan pernah membangkang terhadap Allah. Hal ini tercantum dalam QS Az Dzariyat : 56“Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”
• Menjadi saksi Allah. Sebelum lahir ke dunia ini, manusia bersaksi kepada Allah bahwa hanya Dialah Tuhannya.Yang demikian dilakukan agar mereka tidak ingkar di hari akhir nanti. Sehingga manusia sesuai fitrahnya adalah beriman kepada Allah tapi orang tuanya yang menjadikan manusia sebagai Nasrani atau beragama selain Islam. Hal ini tercantum dalam QS Al A’raf : 172
• “Dan (ingatlah), keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):”Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Mereka menjawab:”Betul (Engkau Tuhan Kami),kami menjadi saksi”.(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:”Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini(keesaan Tuhan)”
• Khalifah Allah sebenarnya adalah perwakilan Allah untuk berbuat sesuai dengan misi yang telah ditentukan Allah sebelum manusia dilahirkan yaitu untuk memakmurkan bumi. Khalifah yang dimaksud Allah bukanlah suatu jabatan sebagai Raja atau Presiden tetapi yang dimaksud sebagai kholifah di sini adalah seorang pemimpin Islam yang mampu memakmurkan alam dengan syariah-syariah yang telah diajarkan Rosulullah kepada umat manusia. Dan manusia yang beriman sejatilah yang mampu memikul tanggung jawab ini. Karena kholifah adalah wali Allah yang mempusakai dunia ini.
Sehingga seorang khalifah harus benar-benar memiliki akhlak Al Quran dan Al Hadis.
Dengan berpedoman pada QS Al Baqarah:30-36, maka status dasar manusia adalah sebagai khalifah (makhluk penerus ajaran Allah) sehingga manusia harus :
1. Belajar. Manusia sebagai khalifah harus mau belajar. Obyek belajar nya adalah ilmu Allah yang berwujud Al Quran dan ciptaanNya.Hal ini tercantum juga di dalam QS An Naml: 15-16 dan QS Al Mukmin: 54
2. Mengajarkan Ilmu. Khalifah yang telah diajarkan ilmu Allah maka wajib untuk mengajarkannya kepada manusia lain.Yang dimaksud dengan ilmu Allah adalah Al Quran dan juga Al Bayan
3. Membudayakan Ilmu. Ilmu Allah tidak hanya untuk disampaikan kepada manusia lain tetapi juga untuk diamalkan sehingga ilmu yang terus diamalkan akan membudaya. Hal ini tercantum pula di dalam QS Al Mu’min:35
Dari ketiga peran tersebut,maka semua yang dilakukan oleh khalifah harus untuk kebersamaan sesama umat manusia dan hamba Allah serta pertanggungjawabannya kepada Allah, diri sendiri, dan masyarakat.

Filsafat Ketuhanan

Tuhan dalam bahasa Arab disebut Ilah yang berarti “ma’bud” (yang disembah).Pengertian Tuhan berdasarkan Islam, ialah Dzat yang Yang Maha Esa, tidak ada lagi Tuhankecuali Dia. Beberapa ayat Al-Qur’an yang mengungkapkan tentang konsep dasar tentang ketuhanan antara lain sebagai berikut:
“Dan Tuahanmu adalah Tuhan yang Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia. Yang MahaPemurah lagi Maha Penyayang” (Al-Baqarah/2: 163).
Ayat ini mengindikasikan bahwa Allah Dzat Yang Maha Kuasa, yang menetapkan segala ketentuan untuk seluruh makhluk, Yang memiliki Kebesaran, Kesucian, Ketinggian dan hanya kepada-Nya manusia muslim menyembah dan memohon pertolongan. Dialah Allah yang menentukan syari’ah bagi umat manusia dengan wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad s.aw. sebagai agama. Wahyu ini membedakan antara agama Allah (revealed religion) dengan agama budaya yang dirumuskan oleh manusia (natural atau cultural religion). Pernyataan tersebut dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-An’am/6:102:
“(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu.” )
Di dalam ayat lain juga disebutkan pada surat al-Anbiya’/21:30
“(Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya”.)
Ayat ini dengan jelas telah mematahkan pandangan kaum naturalist yang menyatakan bahwa alam terjadi dengan sendirinya seperti apa yang sekarang ini. Pada hakikatnya semula langit dan bumi bersatu dan baru kemudian dipisahkan. Hal ini berarti bahwa keberadaan kosmos ini mempunyai awal, tidak seperti yang disangkakan oleh para ilmuan yang berpaham naturalisme seperti tersebut di atas.
Berbeda degan filsafat modren, para filosof pada abad tengah (medieval philosophists) yang banyak didominasi oleh pemikir-pemikir muslim, pemikiran filsafat tidak bisa dipisahkan dari konsep adanya Tuhan. Hampir dapat dikatakan bahwa sebagia besar failosof baik di dunia Islam, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ib Zina, al-Gazali, Ibn Rusyd dan lain sebagainya, juga dari daratan Eropa, seperti Anselm, ThomasAquinas, Bonaventure dan lain sebagainya. Seluruhnya berbicara tentang dan mengakui adanya Tuhan, sehingga sulit untuk membedakan posisi mereka sebagai theolog dan sebagai failosof.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat (akal) tidak bertentangan dengan wahyu, sebagaimana yang selalu dinyatakan Ibn Rusyd melalui pendapatya yang sangat dikenal, yakni kesesuaian akal dengan wahyu. Apa yang diproduksi oleh akal manusia haruslah sesuai dengan yang diwahyukan Tuhan. al-Qur’an sangat banyak memotivasi mausia untuk menggunakan akalnya guna memikirkan ciptaan Allah. Dan orang-orang dalam golongan inilah yang akan memberikan pengakuan aka keagungan Tuhan, Yang Maha Pencipta dan Maha Suci dengan ciptaannya, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Ali Imran/3:190-191.
“(Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”).
Islam menjauhkan sifat Tuhan dari citra manusia, karena manusia adalah makhluk dan setiap makhluk adalah baharu, sedangkan Allah bukan dzat yang baharu, tapi qadim (mukhalafatuhu li al-Hawadits)dalam hal ini citra Tuhan yang dihayalkan manusia, cenderung akan dibumbui dan dicampuri oleh sifat-sifat yang didasarkan kepada pengalaman dan akal manusia, sehingga Tuhan bersifat antropomorfis, karena manusia itu sendiri antroposentris. Hal tersebut dilukiskan dalam peristiwa teguran Nabi Ibrahim a.s kepada ayahnya yang menjadikan berhala sebagai Tuhan, bahkan hal tersebut dilukiskan dalam berbagai peristiwa yang terjadi ketika Nabi Ibrahim as. mencari Tuhan, sebagaimana terdapat dalam surat al-An’am/6:74-83.
“(Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar: "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata". Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam". Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam". Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat". Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Dan dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata: "Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku. Dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Tuhanku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. Pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)? Bagaimana aku takut kepada sembahan- sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui?" Orang- orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”)
Islam sangat menentang isyrak atau mempersamakan Tuhan dengan sesuatu ciptaan-Nya atau makhluk-Nya. Dapat dipahami mengapa dalam kehidupan Ketuhanan secara filosofis tidak mewajibkan ibadah atau ketaatan kepada Allah secara menyeluruh dalam kehidupan manusia, yang diwajibkan olehnya, karena eksistensi Tuhan merupakan idea manusia. Manusialah yang menetapkan adanya Tuhan sekedar sebagai konsekwensi logis dari suatu perhitungan matematis ( mathematical locig) yang disimpulkan dari adanya makhluk. Jadi sangat potensial adalah potensi manusia. Ia merasa mampu merumuskan teori da konsep-konsep ilmu yang dirumuskannya dari data empiris atau logis rasionya dan kecenderungannya atau hawa nafsunya dan kepentingannya sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Jasiyah/45:23;
“(Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah
mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”).
Di sinilah letak perbedaan dasar hidup seorang muslim dan sebagai seorang sekuler, dalam pencapaian segala sesuatu tidak atas dasar pemecahan potensi manusia saja(rasa, karsa dan karya manusia), tetapi atas dasar adanya aspek lain yang sangat diperlukan oleh manusia sebagai landasan pemecahan soal-soal hidup ini, yakni keimanan dan keislaman kepada Allah Yang Maha Esa. Manusia dalam menentukan kebijaksanaan dan tindakan dalam hidup ini memerlukan pedoman dan petunjuk, sedangkan petunjuk yang memiliki kebenaran mutlak hanyalah petunjuk Allah swt. Maka oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa cara hidup muslim adalah tunduk kepada ketentuan dan kekuasaan Allah Yang Maha Esa