Sabtu, 15 Januari 2011

Filsafat Ketuhanan

Tuhan dalam bahasa Arab disebut Ilah yang berarti “ma’bud” (yang disembah).Pengertian Tuhan berdasarkan Islam, ialah Dzat yang Yang Maha Esa, tidak ada lagi Tuhankecuali Dia. Beberapa ayat Al-Qur’an yang mengungkapkan tentang konsep dasar tentang ketuhanan antara lain sebagai berikut:
“Dan Tuahanmu adalah Tuhan yang Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia. Yang MahaPemurah lagi Maha Penyayang” (Al-Baqarah/2: 163).
Ayat ini mengindikasikan bahwa Allah Dzat Yang Maha Kuasa, yang menetapkan segala ketentuan untuk seluruh makhluk, Yang memiliki Kebesaran, Kesucian, Ketinggian dan hanya kepada-Nya manusia muslim menyembah dan memohon pertolongan. Dialah Allah yang menentukan syari’ah bagi umat manusia dengan wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad s.aw. sebagai agama. Wahyu ini membedakan antara agama Allah (revealed religion) dengan agama budaya yang dirumuskan oleh manusia (natural atau cultural religion). Pernyataan tersebut dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-An’am/6:102:
“(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu.” )
Di dalam ayat lain juga disebutkan pada surat al-Anbiya’/21:30
“(Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya”.)
Ayat ini dengan jelas telah mematahkan pandangan kaum naturalist yang menyatakan bahwa alam terjadi dengan sendirinya seperti apa yang sekarang ini. Pada hakikatnya semula langit dan bumi bersatu dan baru kemudian dipisahkan. Hal ini berarti bahwa keberadaan kosmos ini mempunyai awal, tidak seperti yang disangkakan oleh para ilmuan yang berpaham naturalisme seperti tersebut di atas.
Berbeda degan filsafat modren, para filosof pada abad tengah (medieval philosophists) yang banyak didominasi oleh pemikir-pemikir muslim, pemikiran filsafat tidak bisa dipisahkan dari konsep adanya Tuhan. Hampir dapat dikatakan bahwa sebagia besar failosof baik di dunia Islam, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ib Zina, al-Gazali, Ibn Rusyd dan lain sebagainya, juga dari daratan Eropa, seperti Anselm, ThomasAquinas, Bonaventure dan lain sebagainya. Seluruhnya berbicara tentang dan mengakui adanya Tuhan, sehingga sulit untuk membedakan posisi mereka sebagai theolog dan sebagai failosof.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat (akal) tidak bertentangan dengan wahyu, sebagaimana yang selalu dinyatakan Ibn Rusyd melalui pendapatya yang sangat dikenal, yakni kesesuaian akal dengan wahyu. Apa yang diproduksi oleh akal manusia haruslah sesuai dengan yang diwahyukan Tuhan. al-Qur’an sangat banyak memotivasi mausia untuk menggunakan akalnya guna memikirkan ciptaan Allah. Dan orang-orang dalam golongan inilah yang akan memberikan pengakuan aka keagungan Tuhan, Yang Maha Pencipta dan Maha Suci dengan ciptaannya, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Ali Imran/3:190-191.
“(Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”).
Islam menjauhkan sifat Tuhan dari citra manusia, karena manusia adalah makhluk dan setiap makhluk adalah baharu, sedangkan Allah bukan dzat yang baharu, tapi qadim (mukhalafatuhu li al-Hawadits)dalam hal ini citra Tuhan yang dihayalkan manusia, cenderung akan dibumbui dan dicampuri oleh sifat-sifat yang didasarkan kepada pengalaman dan akal manusia, sehingga Tuhan bersifat antropomorfis, karena manusia itu sendiri antroposentris. Hal tersebut dilukiskan dalam peristiwa teguran Nabi Ibrahim a.s kepada ayahnya yang menjadikan berhala sebagai Tuhan, bahkan hal tersebut dilukiskan dalam berbagai peristiwa yang terjadi ketika Nabi Ibrahim as. mencari Tuhan, sebagaimana terdapat dalam surat al-An’am/6:74-83.
“(Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar: "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata". Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam". Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam". Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat". Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Dan dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata: "Apakah kamu hendak membantahku tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku. Dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali di kala Tuhanku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. Pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)? Bagaimana aku takut kepada sembahan- sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukan-Nya. Maka manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui?" Orang- orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”)
Islam sangat menentang isyrak atau mempersamakan Tuhan dengan sesuatu ciptaan-Nya atau makhluk-Nya. Dapat dipahami mengapa dalam kehidupan Ketuhanan secara filosofis tidak mewajibkan ibadah atau ketaatan kepada Allah secara menyeluruh dalam kehidupan manusia, yang diwajibkan olehnya, karena eksistensi Tuhan merupakan idea manusia. Manusialah yang menetapkan adanya Tuhan sekedar sebagai konsekwensi logis dari suatu perhitungan matematis ( mathematical locig) yang disimpulkan dari adanya makhluk. Jadi sangat potensial adalah potensi manusia. Ia merasa mampu merumuskan teori da konsep-konsep ilmu yang dirumuskannya dari data empiris atau logis rasionya dan kecenderungannya atau hawa nafsunya dan kepentingannya sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Jasiyah/45:23;
“(Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah
mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”).
Di sinilah letak perbedaan dasar hidup seorang muslim dan sebagai seorang sekuler, dalam pencapaian segala sesuatu tidak atas dasar pemecahan potensi manusia saja(rasa, karsa dan karya manusia), tetapi atas dasar adanya aspek lain yang sangat diperlukan oleh manusia sebagai landasan pemecahan soal-soal hidup ini, yakni keimanan dan keislaman kepada Allah Yang Maha Esa. Manusia dalam menentukan kebijaksanaan dan tindakan dalam hidup ini memerlukan pedoman dan petunjuk, sedangkan petunjuk yang memiliki kebenaran mutlak hanyalah petunjuk Allah swt. Maka oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa cara hidup muslim adalah tunduk kepada ketentuan dan kekuasaan Allah Yang Maha Esa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar