Sabtu, 11 Desember 2010

Kebudayaan Islam

Pokok Bahasan :
1. Konsep Kebudayaan Islam
2. Karakteristik
3. Landasan
4. Prinsip
5. Sejarah Ilmuwan Muslim
6. Masjid pusat Peradaban


1. Konsep Kebudayaan Islam
Secara umum kebudayaan dapat dipahami sebagai hasil oleh akal, budi yang berupa cipta, rasa, karsa, dan karya manusia yang tidak lepas dari ketuhanan. Adapun akal budi meliputi
Pertama, cipta yaitu kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia hal yang ada dalam pengalamannya secara lahi dan batin. Hasil cipta berupa berbagai ilmu pengetahuan.
Kedua, karsa yang berarti kerinduan manusia untuk menyadari tentang asal usul manusia sebelum lahir dan ke mana manusia setalah mati. Hasilnya berupa norma-norma agama dan kepercayaan. Dari sinilah timbul bermacam-macam agama karena kesimpulan manusia juga bermacam-macam.
Ketiga, rasa yaitu kerinduan manusia akan keindahan sehingga menimbulkan dorongan untuk menikmatinya. Manusia pada dasarnya selalu merindukan keindahan dan menolak keburukan atau kejelekan. Buah perkambangan rasa ini terjelma dalam bentuk berbagai norma keindahan yang kemudian menghasilkan berbagai macam kesanian.
Sementara itu, hasil budaya manusia dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
a. Kebudayaan jasmaniah (kebudayaan fisik) seperti benda-benda ciptaan manusia, misalnya alat perlangkapan hidup.
b. Kebudayaan rohaniah (non-material), yatu hasil ciptaan yang tidak dapat dilihat dan diraba, seperti agama, lmu pengetahuan, bahasa, dan seni. (muntoha dkk, 1998:24)


2. Karakteristik
Kebudayaan Islam dapat dibagi menjadi dua aspek. Aspek pertama didasarkan pada metode-metode ilmiah dan kemampuan rasio, dan aspek kedua, didasarkan pada ajaran Islam yang normatif, pemahaman subyektif, dan pemikiran metafisik.
Dalam perspektif Islam, kebudayaan dikembangkan dalam dunia manusia, berkaitan pula dengan kenyataan penciptaan oleh Allah. Proses ini tidak sekali jadi, melainkan melalui proses penciptaan (khalq), penyempurnaan (taswiyyah) dengan cara memberikan ukuran dan hukum tertentu (taqdir), dan juga diberikan petunjuk (hidayah).
Islam sebagai agama haq disusun atas dasar tiga komponen, yaitu:
a. komponen batiniyah yang merupakan esensi ajaran tauhid;
b. komponen simbolik yang merupakan bentuk ibadah yang bersifat internal, dan
c. komponen muamalah yang merupakan ekspresi dari din al-Islam.


3. Landasan
Landasan kebudayaan Islam adalah agama. Islam tidak seperti masyarakat yang menganut agama bumi karena agama bukan kebudayaan, tetapi melahirkan. Kebudayaan Islam itu berada dengan kebudayaan agama Islam, sebagaimana dikemukakan oleh Gibb sebagai berikut.
Islam pada dasarnya lebih dari sekedar sistem teologi, ia adalah suatu peradaban yang sempurna karena yang menjadi pokok kekuatan dan sebab timbulnya sebuah sistem kebudayaan adalah agama Islam, kebudayaan yang ditimbulkannya dinamakan kebudayaan atau peradaban Islam. Kebudayaan Islam akan tersebar ke dunia luas, jika korps ulama ingin tampil ke depan dengan suatu ajakan yang ilmiah, jauh dari segala cara berpikir buruk dan panatik. Kebudayaan ini akan berdialog dengan hati, dengan pikiran dan dapat dijamin manusia dari segala bangsa akan menerimanya dengan hati terbuka tanpa dapat dicegah dari ambisi-ambisi pribadi. Menggunakan teori ini mampu menghantam kuasa kebudayaan luar dari dalam dan mampu meruntuhkan disiplin-disiplin tradisional humaniora, sehingga kebudayaan Islam menjadi pedoman besar untuk kebudayaan lain dari segi akal, segi moral yang berpedoman teguh pada prinsip sabar dan optimis, sampai segi ukhuwah.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan sangat diperhatikan dalam Islam. Selain itu, kebudayaan juga mempunyai peran untuik membumikan ajaran Islam yang utama sesuai dengan kondisi dan kebutuhan hidup umat manuisa. Jadi, agama bukan kebudayaan, tetapi melahirkan kebudayaan.


4. Prinsip
Islam adalah agama Allah. Yang bersumber dari wahyu Allah dan Sunnah rasul-Nya. Kebudayaan memperoleh perhatian yang serius dalam Islam karena mempunyai peran yang sangat penting untuk membumikan ajaran utama sesuai dengan kondisi dan kebutuhan hidup umat Islam. Kebudayaan Islam merupakan kebudayaan yang sesuai dengan nilai-nilai atau norma-norma Islam, maka prinsip- prinsip kebudayaan dalam Islam merujuk pada sumber ajaran Islam, yaitu (Jamal Syarif Iberani, 2003:92) :


Pertama, menghormati akal. Manusia dengan akalnya bisa membangun kebudayaan baru. Oleh karenanya kebudayaan Islam menempatkan akal pada posisi yang terhormat. Kebudayaan Islam tidak akan menampilkan hal-hal yang akan merusak akal manusia. Prinsip ini diambil dari firman Allah yang artinya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal” (Qs, Ali Imran, 3:190)
Kedua, memotivasi untuk menuntut dan mengembangkan ilmu. Dengan semakin berkembangnya ilmu seseorang maka dengan sendirinya kebudayaan Islam akan semakin maju. Hal ini senada dengan firman Allah Swt:
“Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di anataramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.” (Qs, al-Mujadalah, 58:11).
Ketiga, menghindari taklid buta. Kebudayaan Islam hendaknya mengantarkan umat manusia untuk tidak menerima sesuatu sebelum diteliti, tidak asal mengikuti orang lain tanpa tau alasnnya, meskidari kedua orang tua atau nenek moyang sekalipun. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Swt:
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran,penglihatan dan hati nurani semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Qs, al- Isra, 17:36)
Keempat, tidak membuat pengrusakan. Kebudayaan Islam boleh dikembangkan seluas-luasnya oleh manusia, namun tetap harus mampertimbangkan keseimbangan alam agar tidak terjadi kerusakan di muka bumi ini., Sebagaimana firman Allah swt:
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan” (Qs, al-Qashash, 28:77).
Manusia diberi kebebasan oleh Allah untuk mengolah, mengelola dan memakmurkan bumi tempat ia tinggal. Manusia dipersilakan untuk mengembangkan kebudayaan sesuai dengan kapasitasnya sebagai hamba dan khalifah di muka bum ini, tentunya dengan batasan-batasan yang ditetapkan dalam Islam.


5. Sejarah Ilmuwan Muslim
Tradisi pemikiran di kalangan umat Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Pada masa awal perkambangan Islam, system pendidikan dan pemikiran yang sistematis belum terselenggara karena ajaran Islam tidak diturunkan sekaligus. Namun demikian ayat al-Qur’an yang pertama kali turun dengan jelas meletakkan fondasi yang kokoh atas perkembangan ilmu dan pemikiran Islam.


Dengan meminjam teori yang dikembangkan Harun Nasution, dilihat dari segi perkembangannya, sejarah intelektual Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga masa, yaitu masa klasik (yang terjadi antara tahun 650 - 1250 Masehi), masa pertengahan (antara tahun 1250 - 1800 Masehi), dan masa modern (sejak 1800 Masehi sampai sekarang). (Tim depag RI, 2004:167).
Pada masa klasik, kemajuan umat Islam dimulai sejak dilakukannya ekspansi oleh dinasti Umayyah. Ekspansi ini menimbulkan pertemuan dan persatuan berbagai bangsa, suku, dan bahasa, yang menimbulkan peradaban yang baru. Pada masa ini lahirlah pemikir muslim dari berbagai displin ilmu, baik al-‘ulum al-naqliyah, seperti tafsir, hadis, fiqih, dan kalam, maupun al-‘ulum al-‘aqliyah, seperti filsafat, matematika, kedokteran, fisika, dan astronomi.
Pada masa pertengahan, yaitu tahun 1250 - 1800, menurut catatan sejarah, pemikiran Islam mengalami masa kemunduran, karena filsafat mulai dijauhkan dari umat Islam. Filsafat, oleh sebagian ulama, dianggap sebagai biang keladi terjadinya pendangkalan ajaran ajaran Islam. Masa Modern. Periode ini merupakan masa kebangkitan umat Islam. Mereka menyadari ketertiinggalannya dengan Barat. Hal itu disebabkan karena umat Islam meninggalkan tradisi klasik, yang kemudian diadopsi dan dikembangkan oleh Barat. Para penguasa, ulama dan intelektual muslim mulai mencari jalan untuk mengembalikan umat Islam kembali ke zaman kejayaannya. Untuk mengembalikan umat Islam ada beberapa alternatif yang dilakukan diantaranya adalah:
Pertama, memurnikan ajaran islam dari unsur-unsur penyebab kemunduran umat Islam.
Kedua, menyerap pengetahuan Barat untuk mengimbangi pengetahuan mereka.
Ketiga, melepaskan diri dari penjajahan bangsa Barat.
Namun dalam prakteknya, tidak semua alternatif diterima oleh umat Islam. Meski demikian, upaya untuk maju harus terus dilakukan, lepas dari penjajahan hakiki harus diperjuangkan yaitu merekonstruksi pemahaman yang tidak qur’ani menjadi pemahaman yang berlandaskan nilai-nilai al- Qur’an dan Hadits.


6. Masjid Pusat Peradaban
Secara etimologi, masjid adalah tempat untuk sujud. Secara terminologi, masjd diartikan sebagai tempat khusus untuk melakukan aktivitas ibadah dalam arti luas (Muhaimin dan abdul Mujib, 1993:295)
Pada umumnya masjid dipahami oleh masyarakat sebagai tempat ibadah khusus, seperti shalat. Padahal masjid di jaman Nabi Muhammad saw berfungsi sebagai pusat peradaban.Masjid digunakan oleh Nabi untuk mensucikan jiwa kaum muslimin, mengajarkan Al-Quran dan Al-Hikmah, bermusyawarah untuk menyelesaikan berbagai persoalan kaum muslimin. Selain itu, masjid juga digunakan untuk membina sikap dasar kaum muslimin terhadap orang-orang yang berbeda agama atau ras sampai untuk mengatur strategi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umat. Oleh sebab itu, masjid oleh umat Islam dijadikan sebagai simbol persatuan umat.
Menurut Athiyah al-Abrasyi, umat Islam telah memanfaatkan masjid untuk tempat ibadah dan sebagai lembaga pendidikan dan pengetahuan Islam dan pendidikan keagamaan, dimana dipelajari kaidah-kaidah Islam, hokum-hukum agama, sebagai tempat pengadilan, sebagai tempat pertemuan bagi pemimpin-pemimpin militer, dan bahkan sebagai istana tempat menerima duta asing. Pendek kata masjid dijadikan sebagai pusat kerohanian dan sosial duta asing. (Athiyah al-Abrasyi, 1984:58)
Namun, kondisi masjid-masjid saat ini sudah sangat berbeda. Fungsi masjid mulai menyempit, orang banyak menggunakan masjid hanya untuk ibadah-ibadah ritual semata. Fungsi masjid dapat lebih efektif jika di dalamnya disediakan fasilitas-fasilitas yang diperlukan seperti:
a. Perpustakaan, yang menyediakan berbaga buku bacaan dengan berbagai displin ilmu.
b. Ruang diskusi, yang digunakan untuk berdiskusi sebelum atau sesudah shalat berjama’ah.
c. Ruang kuliah, yang bisa juga digunakan untuk pelatihan-pelatihan remaja masjid. (Muhaimin & Abdul Mujib, 1993:296).
Dilihat dari pertumbuhannya, masjid di Indonesia sangat menggembirakan, dari tahun ke tahun jumlah masjid kian bertambah. Tetapi diakui bahwa fungsionalismenya masih belum optimal. Oleh karena itu memfungsikan secara maksimal harus terus dilakukan. Salah satu jalan antara lain adalah dengan menumbuhkan kesadaran umat akan pentingnya peranan masjid untuk mencerdaskan dan mensejahterakan jamaahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar